Sabtu, 02 Januari 2010

bangunan arab


1. Pengertian Etimologis (Lughawi)

Istilah sejarah dalam bahasa arab dikenal dengan tarikh, dari akar kata arrakha (a-r-kh),yang berarti menulis atau mencatat; dan catatan tentang waktu serta peristiwa.[1] Akan tetapi, istilah tersebut tidak serta merta hanya berasal dari kata ini. Malah ada pendapat bahwa istilah sejarah itu berasaldari istilah bahasa Arab syajarah, yang berarti pohon atau silsilah. Makna silsilah ini lebih tertuju pada makna padanan tarikh tadi; termasuk kemudian dengan padanan pengertian babad, mitos, legenda dan seterusnya.[2] Syajara berarti terjadi, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah.pembungkaman sejarah

Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah sejarah yang dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi, meskipun begitu, banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal-muasal,dalam bahasa Yunani historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.

Menilik pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodesasi.[3]

1. Pengertian Terminologis (Istilahi)

Istilah sejarah, dalam pengertian terminologis atau istilahi, juga memiliki beberapa variasi redaksi. R.G. Collingwood, misalnya mendefinisikan sejarah dengan ungkapan history is the history of thought (Sejarah adalah sejarah pemikiran); history is a kind of research or inquiry (Sejarah adalah sejenis penelitian atau penyelidikan). Pada kesempatan lain, Collingwood memaknakan sejarah (dalam artian penulisan sejarah atau historiografi), seperti membangun dunia fantasi (are peaple who bulid up a fantasy-word).[4]

Nouruzzaman Shiddiqie mendifinisikan sejarah sebagai peristiwa masa lampau yang tidak hanya sekadar memberi informasi tentang terjadinya peristiwa itu, tetapi juga memberikan interpretasi atas peristiwa yang terjadi dengan melihat hukum sebab-akibat.[5]

Jauh sebelumnya, Ibn Khaldun (1332 – 1406), dalam kitabnya al-Muqaddimah, telah mendefinisikan sebagai catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia; tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu, seperti kelahiran, keramah-tamahan, dan solidaritas golongan; tentang revolusi dan pemberontakan rakyat melawan golongan lain; akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan negara dengan tingkatan bermacam-macam kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai kemajuan kehidupannya, berbagai macam ilmu pengetahuan, dan pada umunya tentang segala macam perubahan yang terjadi di dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri.[6]

R.Moh.Ali, mengemukakan pengertian sejarah mengacu dalam tiga makna :

1) Sejumlah perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa kenyataan

2) Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian peristiwa realita

3) Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian dan peristiwa realitas.[7]

Menurut Sartono Kartodidjo, sejarah dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu sejarah mentalitas (mentalited history), sejarah sosial (sosiological history), dan sejarah struktural (structural history).[8]

Hegel berpendapat, bahwa sejarah terbagi menjadi sejarah asli, sejarah reflektif, dan sejarah filsafati. Pertama sejarah asli, yang memaparkan sebagian besar terbatas pada perbuatan, peristiwa dan keadaan masyarakat yang ditemukan di hadapan mereka. Kedua sejarah reflektif, adalah sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang dengannya penulis sejarah berhubungan. Ketiga sejarah filsafati. Jenis ini tidak menggunakan sarana apapun kecuali pertimbangan pemikiran terhadapnya.

Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu, yaitu merekonstruksi apa saja yang sudah dipikirkan, dikejakan, dikatakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Namun, perlu ditegaskan bahwa membangun kembali masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri[9]. Sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan, bahkan, untuk masa akan datang. Oleh kerenanya, orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataannya, sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban dan disepanjang waktu. Hal ini, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu.

Sejarah merupakan suatu dialog yang tiada akhir antara masa kini dan masa lalu. Ini dapat dilihat berdasarkan kerangka keragaman (diversity), perubahan (change), dan kesinambungan (continuity) melalui dimensi waktu[10].

Sejak awal penulisan sejarah (historiografi) identik dengan politik. Bahkan Sir John Seeley, sebagaimana dikutip Mark M.Krug, mengatakan “History is past politics” dan politik adalah sejarah masa kini. Persepsi ini terbentuk karena kenyataan bahwa sejarah dianggap atau diperlakukan sebagai sejarah raja-raja, sejarah timbul atau tenggelamnya para penguasa, sejarah naik dan turunnya dinasti-dinasti, sejarah bangun dan runtuhnya rezim-rezim politik dan sebagainya. Pada perkembangan penulisan sejarah kekinian berkembang tiga jalur : (1) perkembangan sejarah politik yang dominan, (2) perkembangan sejarah sebagai biografi, dan (3) teori sejarah orang besar.


[1] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), hal 17; Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzur, Lisan al-Arab , Vol 3, (Beirut: Dar al-Lisan al-Arab, 1970), hal 481.

[2] Sidi Gazalba, Pengantar Ilmu Sejarah, (jakarta: Bhratata, 1981), hal 11; K.Bertens, Panorama Fislafat Modern, (Jakarta, Gramedia, 1987); dan hariono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm 51; Cf.Lois Cottschalk, Mengerti Sejarah, terj Nugroho Noto Susanto, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm.27.

[3] Gordon Leff, History end Social Teory, (New York, Anchor Book, 1971).hlm. 117

[4] R.G. Collingwood, The Idea of History, (London: Oxford University Press, 1976). Hlm.9 dan 2.

[5] Nouruzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta, Nurcahaya, 1983), hlm.5.

[6] Abdurrahman Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut; al-Mathba’ah al Khaldun, cet II, 1886), hlm 2-3. terj Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Jakarta,Pustaka Firdaus, 1986). Hal 12-13.

[7] R.Moh.Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, (Jakarta; Bhratara, 1965), hlm. 7-8.

[8] Sartono Kartodirdjo, “Teori Sejarah dan Masalah Historiografi”,dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta : Persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian. (Jakarta, Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Sinergis Press, 2002), hlm 5

[9]. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah , Bentang, Yogyakarta, cetakan kelima Juli 2005, hal 18

[10] Nur Huda, Islam Nusantara, Ar-RuzMedia, Yogyakarta, 2007, hal 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar