Rabu, 13 April 2011

adat istiadat yang membelenggu

Salah satu perbedaan terbesar antara masyarakat di belahan dunia Timur dengan di belahan dunia Barat adalah dalam hal adat istiadat. Kehidupan masyarakat Timur dipenuhi dengan berbagai jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain-lain. Upacara-upacara di sepanjang lingkaran hidup manusia itu di dalam antropologi dikenal dengan istilahrites de passages atau
life cycle rites.
Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara ini didasarkan pada pemikiran bahwa masa peralihan tingkat kehidupan itu mengandung bahaya gaib. Upacara adat dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang terhindar dari bahaya atau celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya, mereka memperoleh berkat dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat itu.
Beberapa life cycle rites yang dijumpai pada masyarakat Batak Toba di antaranya:m an g g an j e (kehamilan),m an g h ar o an (kelahiran), martutu aek dan mampe goar (permandian dan pemberian nama),m ar h aj ab u an (menikah), mangompoi jabu (memasuki rumah),m an u l an g i (menyulangi/menyuapi),h a m a t e a n (kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang), dll. Pada masyarakat Batak lainnya (Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, dan Pakpak Dairi), upacara tersebut memiliki sebutan-sebutan yang berbeda.
Persoalan besar dan sangat penting yang dihadapi oleh seseorang yang memutuskan untuk sungguh-sungguh mengikut Tuhan Yesus adalah: apakah dia masih boleh terlibat dalam upacara adat Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani (haholomon) dan penyembahan berhala (hasipelebeguon). Permasalahan tersebut muncul ketika Injil Tuhan Yesus diberitakan pertama kalinya oleh para Missionaris di Tanah Batak, dan terus berlanjut hingga masa kini. Persoalan ini belum tuntas diselesaikan, baik sewaktu Pdt. I.L. Nommensen masih hidup, pada masa gereja dipimpin para Missionaris penerusnya, maupun pada masa pimpinan gereja berada di tangan orang Batak sendiri.
Nommensen mencoba membagi upacara adat atas tiga kategori, yaitu:
i. Adat yang netral
ii. Adat yang bertentangan dengan Injil
iii. Adat yang sesuai dengan Injil
Sebelum masalah itu tuntas, beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras dilaksanakannya upacara adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk penggunaan musik dan tarian (gondang dant o r t o r) Batak. Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada masa itu banyak yang dikucilkan dari masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa menampung mereka dengan membangun perkampungan baru, yang disebut Huta Dame.
Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing pernah dikenai disiplin gereja karena menghadiri sebuah upacara kematian. Raja Pontas Lumban Tobing adalah orang yang memberikan tanahnya di Pearaja, Tarutung untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan gereja. Dia termasuk seorang raja Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini mempunyai andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau raja-raja di wilayah Silindung.
Namun sampai akhir hidupnya, Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah
satu sumber kegagalan Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri


Nommensen sulit menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan dengan Injil
dan upacara adat mana yang netral.
Pada masa-masa akhir pelayanan para Missionaris di Tanah Batak, ditengah-tengah umat Kristen Batak muncul suatu desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan mengganti kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil dengan diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942).
Tekanan supaya diizinkannya kembali upacara adat muncul sebagai dampak negatif dari strategi penginjilan di tanah Batak dengan pendekatan struktural masyarakat Batak. Penginjilan dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada raja-raja yang memimpin di wilayah masing-masing marga. Pertobatan seorang raja biasanya segera diikuti dengan pembaptisan massal dari penduduk di wilayah itu, yang umumnya memiliki ikatan kekerabatan dengan sang raja. Dengan cara ini, para Missionaris berhasil dengan cepat mengkristenkan wilayah Tapanuli bagian Utara.
Pihak gereja yang mengutus Nommensen menolak adanya pembaptisan massal yang tidak didasarkan pada pertobatan pribadi. Namun, Nommensen terpaksa melakukannya mengingat cepatnya gerakan islamisasi di Tapanuli Selatan, yang digerakkan oleh pasukan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao. Nommensen berharap mereka yang telah dikristenkan dapat dibimbing dalam ajaran Tuhan di kemudian hari untuk memasuki pertobatan pribadi, mengikut Yesus karena kemauan sendiri dan karena sudah mengerti ajaran Injil.
Dalam kenyataannya, pembaptisan massal kerabat seorang raja yang menjadi pengikut Yesus banyak dilakukan karena solidaritas kekerabatan, bukan karena pertobatan murni dari pemahaman akan Injil Yesus Kristus. Banyak dari mereka belum mengenal kekayaan dan kemuliaan Injil Yesus Kristus sehingga tidak pernah mengalami pembaharuan hidup oleh kuasa Roh Kudus dan mengerti keunikan Injil Kristus.
Pembaptisan massal tersebut memberikan kesibukan yang luar biasa bagi para Missionaris dalam melayani Jemaat baru tersebut. Karena keterbatasan jumlah Missionaris, banyak anggota Jemaat tersebut yang tidak sempat dibina dalam prinsip-prinsip sejati pemuridan Yesus Kristus. Secara organisasi mereka anggota gereja, tetapi dalam pemikiran dan cara hidup mereka masih sebagai orang BatakHa h o l o m o n (kegelapan) yang terikat dengan cara pikir dan cara hiduph a si p e l e b e g u o n.
Persoalan ini juga disebabkan oleh tidak adanya pedoman atau aturan gereja yang jelas dari pimpinan di Jerman, yang mengirim para Missionaris. Mereka sendiri belum dapat memutuskan sikap yang jelas terhadap upacara adat Batak karena upacara adat Batak merupakan hal baru bagi mereka. Karenanya, terdapat perbedaan sikap yang belum pernah dituntaskan di antara para Missionaris dalam menyikapi jenis-jenis upacara adat Batak yang harus ditinggalkan. Namun pada prinsipnya, mereka sangat menekankan bahwa segala bentuk
hasipelebeguon harus ditinggalkan, karena bertentangan dengan Firman TUHAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar